Minggu, 10 Februari 2013

Aku suka Kamu


“Dicky, tau nggak loe. Di kampus kita ada mahasiswa baru. Mana sekelas lagi sama kita. Ya ampun, Cantik banged cuuy”. Wajahnya itu lho, suwer deh nggak bakal malu – maluin buat di bawa kondangan” cerocos Andrew antusias.
“Oh ya?” tanya Dicky terlihat sama sekali tidak tertarik. Komentar barusan juga hanya sekedar formalitas, membuat Andrew ngeluyur pergi dengan muka sebel.
“Dasar lu, awas aja ntar kaloe kesengsem ama tuh anak” kata Andrew ngambek.
“Iya deh. Kalau dia memang secantik itu terus cantikan  mana sama si Nuril?” tanya Dicky kemudian. Sengaja memberikan perbandingan sang pacar sahabatnya dengan harapan mulut cewek itu bisa segera tertutup.
“Nah justru itu cantiknya nya sama. Baik wajah maupun style. Ya iya lah secara mereka kembar gitu lho” terang Andrew.
Langkah Dicky terhenti. Menatap kearah Andrew dengan tampang serius. Yang di tatap juga balik menatapnya.
“Loe serius?” tanya Andrew kemudian. “Jadi Nuril punya kembaran?” sambung Andrew lagi.
“Tentu saja bohong” balas Andrew membuat Mulut Andrew maju dua senti. Kesel karena di kerjain oleh sahabatnya yang satu itu.
“Lagian salah loe sendiri si. Gue ngomong panjang lebar sedari tadi di cuekin mulu”.
“Please deh, Andrew. Loe kan udah punya pacar, la terus kenapa masih harus ngurusin cewek laen si. Pake muji – muji segala lagi. Kalau sampe Nuril tau kan bisa putus loe ntar”.
“Justru karena gue udah punya pacarlah makanya gue cerita in ke eloe”.
“Maksut loe?” Tanya Dicky dengan kening berkerut saat mendapati senyum misterius di bibir sahabatnya.
“Gue pengen jodohin sama loe” todong Andrew langsung.
“Uhuk – uhuk” Dicky yang kebetulan sedari tadi mengulum permen kiss kontan tersedak. Bukan,  bukan karena omongan Andrew barusan. Tapi karena matanya tiba – tiba menemukan objek pandangan yang benar – benar menarik.
“Loe kenapa si?. Kalau makan hati – hati donk” kata Andrew sambil mengusap – usapa punggung Dicky.
“Andrew, loe tau nggak dia siapa?”.
“Ha?” tanya Andrew. Matanya segera mengikuti arah terlunjuk Dicky. Begitu mendapati sosok yang di maksut ia terdiam. Untuk sejenak berfikir.
“Dah dia itu lah orang yang sedari tadi gue maksut. Gimana ?. cantikk kan?” tanya Andrew lagi.
“Jadi dia?” tanya Dicky. Walau bingung melihat mata Sahabatnya yang tiba – tiba terlihat berbinar – binar tak urung Andrew mengangguk membenarkan.
“Oke, kalau begitu gue setuju. Loe bisa jodohin gue sama dia”.
“Ha?” mulut Andrew terbuka. Asli kaget.
“La tadi loe kan bilang loe mau jodohin dia sama gue. Ya sekarang gue bilang gue setuju” kata Dicky lagi.
“He he he, tunggu dulu. Loe nggak serius kan?” tanya Andrew terlihat horor.
“Tentu saja serius. La kan tadi loe sendiri yang nawarin”.
“Ampun deh Dicky, gue tadi Cuma bercanda aja kale. Kenal juga belum. Ketemu juga baru kemaren. Tau namanya juga baru tadi. Yang benar saja lah”.
“Ya sudah kalau gitu. Biar gue usaha sendiri”.
“Maksud loe?” tanya Andrew bingung.
Dicky hanya angkat bahu sambil tersenyum penuh makna membuat mulut Andrew makin terbuka lebar tanpa suara yang keluar sama sekali. Ayolah, ini sama sekali nggak lucu. Semua orang juga tau kalau sahabatnya yang satu itu belum pernah terlihat jalan bareng cewek dalam arti yang sesungguhnya atau dengan kata lain biasa disebut pacar. tapi kenapa sekarang.... Andrew sama sekali tidak berani melanjutkan pemikiran liarnya. Kepalanya hanya mampu mengeleng – geleng tak percaya.



“  Wita kenalin gue Dicky”.
Sosok yang sedari tadi tampak membaca buku   di perpustakaan kampus sontak mendongak. Kening nya sedikit berkerut sebagai tanda kalau ia sedang bingung. Tapi Dicky tetap cuek. Tangannya masih terulur mengajak berjabatan.
“Kita sekelas. Kebetulan tadi kita kan belum kenalan” sambung Dicky sambil tersenyum manis.
“O”.
Dicky berdiri terpaku. Jangan kan memabalas uluran tangannya bahkan kalimat yang keluar dari mulutnya hanya satu huruf ‘o’. Untuk si sebut sebagai sepatah kata  saja tak cukup apalagi sebagai kalimat.
“Apa ada lagi” tanya Wita tanpa menoleh sedikitpun. Matanya masih asik membaca buku yang ada di tangannya. Hanya saja ia juga masih bisa menyadari kalau Dicky masih ada di sampingnya. Belum beranjak sedikitpun.
“Kenapa ?. Apa masih ada lagi yang ingin loe bicarain sama gue?” tanya Wita lagi. Kali ini ia menutup buku nya dan menatap lurus kearah Dicky.
“Loe kan belum menyebutkan nama loe?”.
“Bukanya tadi loe juga sudah manggil nama gue?” Wita balik bertanya. Membuat Dicky mati gaya dan hanya mampu menganggukan kepala membenarkan.
“Ya sudah kalau gitu. Harusnya gue nggak perlu mengulanginya lagi kan. Lagi pula gue sekarang lagi pengen konsentrasi membaca”.
Mendengar itu membuat Dicky hanya tersenyum kecut. Hey, bukannya itu sebuah kalimat sindiran untuk mengusir orang ya?.
“Ya udah kalau gitu, gue permisi dulu. Maaf kalau udah ganggu loe. Kalau gitu silahkan di lanjutkan bacaannya” kata Dicky sebelum kemudian pamit berlalu.


“Astaga Dicky, loe serius tadi dia secuek itu?” tanya Andrew tak percaya saat mendengar cerita yang keluar dari mulut Dicky saat ia menyamperin Wita keperpustakaan kampus beberapa saat yang lalu.
“Ya serius lah, masa ia gue bohong” kata Dicky sambil menikmati mie soto pesanannya. Sedikit mencicipi rasa kuahnya yang terasa sedikit hambar tangannya terankat menyambar botol kecap yang ada di hadapannya.
“Heii, loe kok santai gitu si?. Gue yang Cuma denger aja kesel”.
“Lho memangnya gue harus gimana?” tanya Dicky heran.
“Loe nggak kesel sama tu orang?”.
Dicky hanya membalas dengan gelengan kepala sambil tangannya terus memasukan suapan demi suapan kedalam mulut.
“Bukannya dia keterlaluan ya?”.
“Ya enggak lah. Yang dia omongin tadi kan bener”.
“Jadi?”.
“Jadi?” ulang Dicky bingung. Sama sekali tak mengerti maksud ucapan sahabatnya.
“Ya jadi gimana. Loe masih tetap tertarik sama tu orang?” tanya Andrew lagi.
“Tentu saja” balas Dicky. “Jujur saja dia itu orang pertama yang bisa membuat gue merasa tertarik. Jadi gue nggak akan melepaskannya dengan begitu saja”.
“Tapi kan....”.
Andrew tidak jadi melanjutkan ucapannya saat mendapati Dicky terlihat keasikan menikmati makannya.
“Gue nggak akan pernah melepaskan sesuatu yang gue inginkan tanpa terlebih dahulu melakukan perjuangan” tekad Dicky membuat Andrew yang melihat nya merasa horor  dan memilih menyuapkan pesanan nya kedalam mulut.

Ternyata Tekad Dicky benar – benar bukan sekedar isapan jempol belaka.  Sudah lebih dari dua minggu ini ia dengan gencar melakukan pendekatan ke arah Wita walaupun tanggapannya selalu dingin. Tu orang terus nyuekin dia. Bahkan Andrew sudah berkali – kali menasehatinya untuk menghentikan usahanya sama sekali tak di gubris.
Namun sepertinya hari ini lain ceritanya. Saat kebetulan Dicky dan Andrew jalan beriringan menuju ke kelas berpapasan dengan Wita, Dicky sama sekali tidak menyapanya. Bahkan bersikap seperti tak melihatnya sama sekali. Membuat Kening Andrew berkerut melihatnya.
“Dicky, bukannya barusan itu Wita ya?” bisik Andrew lirih.
“Kayaknya si. Memangnya kenapa?” tanya Dicky heran.
“Kok loe nyantai aja?”.
“Memangnya gue harus ngapain?” lagi – lagi Dicky membalas pertanyaan dengan balik bertanya membuat Andrew menghela nafas. Sama sekali tidak berniat melajutkan pertanyaanya.
“Sudah lah, lupain aja. Kekelas aja langsung yuk” 

Dicky masih terus menikmati makanan pesanannya sambil sesekali menatap kedepan. Kaffe memang sedang rame sore itu. Sementara Andrew yang ada di hadapannya masih terdiam. Tidak tau mau berkata apa karena selang dua meja dari mereka tampak Wita yang juga sedang menikmati makanannya. Dan Andrew sempat menangkap basah arah pandangan Wita yang jelas – jelas sedang memperhatikan gerak – gerik Dicky yang terlihat cuek banged. Sama sekali tidak terpengaruh dengan kehadiarnya. Padahal biasanya cowok itu sangat angresif mendekatinya. Tak perduli di manapun dan kapanpun.
Andrew masih belum menemukan topik pembicaraan yang pas saat mendapati Dicky yang tiba – tiba bangkit dari duduknya. Dan Andrew makin kaget begitu mengetahui arah tujuan Dicky yang jelas – jelas sedang melangkah ke arah Wita berada.
“Mau apa lagi loe?” akhirnya Wita mengalah dan memilih menyapa duluan ketika melihat Dicky yang sedari tadi hanya berdiri di depannya tanpa berkata apa pun membuat perhatian seisi kaffe terarah kemerka.
“Kenapa loe sedari tadi merhatiin gue?” Todong Dicky langsung.
“apa?” Tanya Wita tak percaya.
“Gue nanya kenapa loe sedari tadi memperhatiin gue. Loe naksir ya sama gue?” ulang Dicky lagi.
“Nggak salah. Kenapa gue harus memperhatikan eloe?. Nggak penting banget sih”.
“Nah justru karena gue nggak tau lah makanya gue nanya kenapa eloe mem...”.
“Gue nggak memperhatikan loe tuh” potong Wita cepat.
“Menatap gue tanpa berkedip. Kalau bukan memperhatikan lantas apa donk namanya?”.
“Memang nya siapa yang bilang gue mandangin eloe?” bantah Wita. “Dia?” tunjuknya kearah Andrew dengan nada meledek.
“Hanya karena gue kebetulan bersitatap sama dia loe langsung keGeEran. Mengira kalau gue memperhatikan eloe. Eh denger ya, gue tadi Cuma....”.
“Andrew nggak ngomong apa – apa. Tapi gue tau karena gue ngelihat sediri”.
“Jangan ngarang. Sedari tadi gue perhatiin loe sama sekali nggak pernah menoleh kearah gue” bantah Wita cepat membuat Dicky tersenyum.  Sedangkan Andrew sendiri justru malah tidak mampu menahan tawanya. Sementara Wita sendiri hanya mempu merutuki dalam hati. Ini si bukan membantah, tapi jelas – jelas dia ngaku.
“Gue memang nggak mandang eloe langsung. Tapi gue liat nya dari sana” tunjuk Dicky kearah depan.  Kening Wita berkerut melihatnya namun beberapa saat kemudian barulah ia menyadari maksud ucapan Dicky. Dasar bodoh, Kaffe itu kan memang di kelilingi kaca dan dari tempat Dicky tadi duduk kebetulan memang tempat yang paling strategis untuk memperhatikannya tanpa di ketahui.
“Ehem, kalau gitu sudah jelaskan kalau sebenernya yang sibuk mencuri pandang diam – diam itu eloe?” Serang Wita balik. Membuat mulut Andrew mangap sambil menatap Wita sinis.
“Gue akuin” balas Dicky cuek.
“terus maksudnya apa?” tanya Wita lagi.
“Gue suka sama loe?”
“Ha?” bukan Cuma Wita yang kaget, tapi juga Andrew dan seluruh pengunjung kaffe yang ikut menyaksikan.
“Dan kerena itu, yuk kita jadian” Ajak Dicky melanjutkan ucapannya.
Untuk sejenak suasana hening, sepi. Wita masih terdiam. Sementara pengunjung yang lain juga ikut terdiam menunggu jawaban yang keluar dari mulut Wita. Namun beberapa saat Wita tak juga memberi jawabannya hanya kata “maaf” yang keluar dari mulut indah itu. Hal itu tak urung membuat Dicky menjadi tak karuan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar